Roald Dahl dalam Ingatan Sophie Sang Cucu - CNN Indonesia

Jakarta, CNN Indonesia -- Sophie Dahl memanggil kakeknya dengan Mold, karena waktu kecil ia diajari untuk mengucapkan lafal Norwegia untuk Roald, sehingga malah jadinya Mold. Kadang Moldy.

Begitulah Sophie mengawali cerita dalam mengingat akan sosok kakeknya penulis Roald Dahl yang pada Selasa (13/9), genap berusia 100 tahun.

Dilansir dari The Guardian, Sophie mengungkapkan bayangan akan kakeknya itu juga melekat dengan bau yang khas antara gabungan sabun habis bercukur dan udara dari luar ruangan. Dahl juga memiliki suara yang berkarakter dan khas di telinga.

Kata Sophie, ia bertumbuh di Gipsy House, di Buckinghamshire dengan ibu yang masih muda dan belum menikah. Bibinya, Ophelia kerap datang dan seekor kambing bernama Alma akan kerap masuk dan keluar rumah.

"Dalam sebuah gambar, saya, ibu, bibi dan paman Theo akan mengenakan baju monyet. Sementara Mold dalam seragam kemeja Aertex miliknya, serta celana panjang dan berkardigan." 

Makanan di Gipsy House bukan sekedar waktu makan, ini adalah sajian yang diambil dari resep seorang pangeran dari Dar es Salaam, begitu kakek selalu berkisah. Dan setiap hari resep makanan ini disesuaikan dengan tergantung makanan yang disajikan.

Mold punya banyak cerita ajaib, seperti seorang pesulap.

Kerap bercerita

Aksinya kadang beragam, dari mulai biskuit Amaretto yang dibungkus kertas, menyaksikan balon udara di ketinggian, dan jatuh kembali ke bumi dengan berbagai pertanyaan yang membuat penasaran, miniatur kereta yang berkeliling di ruang makan, rumah yang dihiasi Witch Balls, dan membayangkan penyihir yang datang mengetuk pintu.

Mold kerap menuliskan nama anak-anaknya dengan cara yang unik. Lalu, dia akan berujar, "Peri sudah tiba, dan mari kita lihat apa yang sudah mereka lakukan." 

Ada beberapa hal ajaib lainnya, seperti permainan sekotak Tupperware yang muncul di akhir waktu makan siang atau makan malam. Kotak tersebut bisa berbagai warna, biru, merah dan transparan. Jika makan dengan baik saat di meja makan, maka diijinkan untuk mengumpulkan kotak yang ada di dapur lalu membawanya ke ruang makan ketika semua orang dewasa menikmati kopi.

Kotak tersebut berisi cokelat, banyak sekali, dari berbagai ukuran. "Saya dan kakek sama sama suka cokelat, dan selera kita juga sama, seperti Cadbury's Flake, Aero, Curly Wurly, Crunchie, Kit Kat dan Dime."

Pengetahuan Dahl akan cokelat seperti ensiklopedia berjalan. Ia dapat mengingat tanggal dan tahun penemuannya.

Keajaiban dan makanan menjadi inti cerita dalam kisah yang ia tulis, begitu juga dengan sosok anak yatim, baik nyata ataupun metafora.

James Henry Trotter, yang kesepian dalam cerita-ceritanya, menjadi kisah penggerak juga untuk karakter utama dalam The BFG dan Matilda.

Kisah yang ditulis Mold kini menjadi cerita buat anak-anak di berbagai belahan dunia, termasuk keturunan Sophie. Tentang sosok pahlawan laki-laki dan perempuan, yang kadang takut dan bersiap dengan berbagai petualangan.

Matilda, menjadi kisah yang inspiratif dan menekankan pesan bahwa siapa pun tidak sendirian di dunia ini.

Seorang remaja Syria dari Daraa, lokasi pengungsian, baru selesai membaca buku James and The Giant Peach beberapa waktu lalu. Katanya itu buku cerita anak pertama yang ia baca dan sangat disukainya. Tidak menggurui tapi merayakan ketakutan yang dialami setiap orang.

Sophie mengatakan kakeknya Dahl menyukai pedesaan, dengan bukit hijau dan kayu-kayu di belakang rumah. Taman bunganya indah. Ketika putrinya berusia tujuh tahun Olivia, kakak dari ibu Sophie meninggal dunia, Dahl menghabiskan banyak waktu dengan menamam bunga di makamnya.

Keluarga Dahl, kata Sophie, sama ribetnya dengan yang lain, dengan banyak kesenangaan dan juga tragedi, yang dihadapi sama-sama.

Dahl lahir pada 13 September, 100 tahun lalu, meninggal dunia ketika Sophie berusia 13 tahun, 23 November 1990, di usia 74 tahun. Tapi sekarang ia terdengar masih sangat muda.

"Dan saya sangat merindukannya," kata Sophie. (rsa)



http://ift.tt/2cUZl2Z

Subscribe to receive free email updates: